Kalau ditanya negara mana yang paling ingin dikunjungi sebelum meninggal, maka akan kujawab PALESTINA. Mengapa Palestina?
Kecintaanku pada tanah Palestina sudah mengakar semenjak aku mengenyam bangku SMA. Aku masih ingat, dulu pernah pinjam buku di perpus SMA -yang judulnya aku lupa, tapi yang jelas berkaitan dengan kondisi Palestina, tanah yang penuh konflik dan kondisi umat Islam di sana mengenaskan.
Kalau dirunut ke belakang, jauh sebelum SMA, rupanya karena ayahku suka dengar berita di radio, aku pun sudah mengenal Palestina. Lewat siaran berita RRI, aku sering dengar nama Presiden Palestina, Yasser Arafat. Nama Yasser Arafat juga pernah lekat di memoriku karena pas kelas 5 SD aku bersama 2 temanku pernah ikut lomba cerdas cermat P4 mewakili kecamatan. Salah satu pertanyaan pada lomba cerdas cermat itu adalah “Siapa nama Presiden Palestina?” Sayangnya pertanyaan itu ditujukan kepada kelompok pesaingku. Ahhh…
Pas kuliah, semakin seringlah aku dengar berita tentang Palestina. MBM sering banget ngadain kajian tematik tentang Palestina yang menayangkan tentang keberanian anak-anak Palestina dalam menghadapi tentara Israel, meski hanya bermodal ketapel dan batu. Pas sudah kerja, aku juga beberapa kali ikut aksi bela Palestina. Yang terakhir, tahun 2018 di Monas.
Sekitar bulan Juni 2019, aku mulai mencari-cari info trip yang bisa mengantarku ke Al Aqsa. Aku sempat menghubungi travel yang membawaku umrah tahun lalu. Namun, ternyata jadwalnya nggak cocok dengan tanggal yang kumau. Sampai akhirnya aku menemukan Komunitas Umrah Mandiri.
Aku segera menghubungi PIC Komunitas Umrah Mandiri dan bergegas membayara DP sebesar 3 juta untuk mengamankan kursi. Selang beberapa waktu kemudian, aku melunasi sisanya sebanyak 26 juta.
Rencana keberangkatanku adalah tanggal 20 Oktober 2019. Namun, pada akhirnya karena berbenturan dengan perayaan Yahudi, perjalanan diundur ke tanggal 3 November 2019. Ada 3 negara yang akan dikunjungi, yaitu Mesir, Palestina, dan Yordania.
Setelah memastikan cuti disetujui atasan, akhirnya aku berangkat pada tanggal 3 November. Beruntungnya, Visa Israel sudah keluar H-2 sebelum berangkat karena menurut info yang kudengar, visa Israel memang selalu mepet keluarnya. Bahkan, kadang baru keluar saat sudah di Mesir.
Singkat cerita, setelah 3 hari di Mesir, aku dan rombongan masuk ke Israel melalui Perbatasan Taba. Penjagaan di imigrasi Israel sangat ketat. Setiap orang harus menyeret koper masing-masing, 100 meter sebelum gerbang perbatasan, sampai masuk imigrasi, dan masuk Israel, yang berjarak sekitar 300 meter. Kalau di Indonesia, dipastikan banyak porter yang siap siaga membantu, tapi di Israel, semua harus membawa sendiri.
Di pos pemeriksaan, tentara Israel melakukan scanning semua paspor dengan sangat detail. Isunya, mereka takut ada sihir yang diselipkan pada paspor, utamanya sihir dari Mesir.
Beberapa rekan serombongan berhasil lolos dengan cepat. Namun, yang namanya berbau-bau Arab, seperti Abdul Jabbar Malik, Syahada, Nurul, Rahma, dan aku, Faizin, sempat mengalami penahanan. Aku sendiri hampir sejam menunggu sampai akhirnya diperbolehkan masuk ke tahap berikutnya. Mengikuti tips dari tour leader, ketika ditanya petugas, aku berpura-pura nggak bisa bahasa Inggris. Begitu ditanya, aku pun memanggil tour leaderku, Mbak Hanna. Hanna berhasil mengatasi petugas Israel yang jutek. Namun, rekan saya, Jabbar Abdul Malik harus ditahan selama 2 jam dan setelah bebas, dia bercerita kalau selama 2 jam itu cuma didiemin dan disuruh menunggu saja. Capek deh!
Sambil menunggu Jabbar, kami berfoto di tepian laut Israel yang indah. Tampak banyak warga Israel sedang berjemur dan menikmati suasana sore itu yang panas.
Setelah semua lolos dari imigrasi, kami naik ke bus yang telah menunggu, dengan Sukri sebagai sopirnya. Perjalanan dari perbatasan menuju kota Yerusalem ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Sebelumnya, kami sempat berhenti sejenak di pom bensin untuk pergi ke toilet. Turun dari bus tampak banyak pria Yahudi mengenakan penutup kepala khas mereka. Toilet Israel ternyata jorok juga. Hi, banyak sisa kotoran yang nggak disiram.
Sampai di Yerusalem, hati mulai bergemuruh, perasaan yang hampir sama kurasakan seperti ketika memasuki kota Mekkah setelah melewati perjalanan panjang dari Madinah. Lampu-lampu kota Yerusalem tampak menyala terang benderang.
Bus parkir di depan hotel dan kami segera check in di Hotel Rivoli untuk menikmati makan malam. Menu malam itu roti, salad, nasi briyani, yoghurt. Setelah mengisi perut, kami pun ke kamar masing-masing.
Sempat kulihat terjadi cek cok antara pemilik hotel dengan 2 orang Yahudi berjenggot panjang, yang mengklaim telah memesan kamar. Namun, pada akhirnya 2 orang Yahudi itu tak mendapatkan kamarnya. Pemilik hotel pun meminta mereka pergi. Sepertinya ada kesalahan dalam administrasi hotel, tapi aku nggak ambil pusing. Pengin cepat-cepat istirahat.
Sekitar jam 3 pagi aku sudah terbangun. Pagi ini aku ingin sekali menunaikan salat subuh perdana di Masjidil Aqsa. Aku bersama Pak Nurul Hudha berjalan meninggalkan hotel menuju masjid pada jam 4 pagi. Udara dingin merasuk tulang. Aku hanya memakai baju koko lengsn pendek–kado dari Shiddiq– dengan balutan sorban.
Kami tak kuasa menahan diri untuk tidak berfoto di gerbang Herod, salah satu gerbang masuk kompleks Masjidil Aqsa. “Foto dong, Pak!” Ya, ntar gantian ya. Tampak rombongan jamaah lain dari Turki tersenyum melihat tingkah polah kami. Kami saling bertegur sapa, “Assalamualaikum”.
Jalan menuju Masjid ternyata melintasi lorong berliku. Kalau jalan sendiri, hampir dipastikan aku bakalan nyasar ke gang sempit. Setelah berjalan sekitar 15 menit, kami tiba di Dome of the Rock. Wow, Alhamdulillah…. Masya Allah…. indah sekali masjid kubah emas ini. Kami lagi-lagi tak mau melewatkan momen dan bergantian foto. Dan setelah puas foto-foto dan video di Dome of the Rock, kami melanjutkan langkah ke Masjid Qibli (Masjidil Aqsa). Ya Allah…. luar biasa nikmat-Mu…. kami bersyukur berhasil menginjakkan kaki di masjid tersuci ke-3 bagi umat Islam ini.
Di pintu masjidil Aqsa, kami disambut dengan minuman hangat dan kurma yang dibagikan oleh penduduk asli Palestina. Sambil menunggu azan Subuh, aku memerhatikan jamaah lain. Paling banyak orang Turki, disusul Malaysia, dan sebagian orang Indonesia.
Salat Subuh pagi itu berlangsung khidmat. Bacaan suratnya fasih, seperti di Masjidil Haram yang semakin membuat hati trenyuh mengingat kebesaran Illahi. Usai salat, kami tak langsung pulang. Bapak-bapak rombonganku memasukkan infak ke kotak amal masjid. Aku diminta memfoto dan memvideokan. Rupanya ia menyampaikan amanah dari teman-temannya di tanah air.
Aku menikmati suasana masjid dan mengabadikan keindahan arsitektur Masjidil Aqsa. Saat sedang berfoto, aku juga berkenalan dengan jamaah dari Turki, Mesut.
Pulang dari masjid, kami sarapan di hotel dan segera berkemas karena agenda jari itu cukup padat. Kami akan mengunjungi beberapa tempat di kota Hebron.
Perjalanan ke kota Hebron ditempuh dalam waktu hampir 2 jam. Kami menyaksikan sendiri tembok yang memisahkan kota Yerusalem dengan Bethlehem. Di perjalanan, guide kami menceritakan bahwa jalan yang kami lalui hanya boleh dilewati orang Israel, sementara orang Palestina mendapatkan diskriminasi di tanah air mereka sendiri.
Sesampai kota Hebron atau Al Khalil (bahasa Arab), kami diajak mengunjungi Masjid Ibrahim, di mana di sana ada makam Nabi Ibrahim, istrinya, Sarah, Nabi Ishaq dan istrinya, Nabi Yaqub dan istrinya, serta Nabi Yusuf. Yang menarik dari tempat ini adalah kita bisa melihat tulang belulang para nabi. Aku baru tahu kalau ternyata Nabi Yusuf, cicit Nabi Ibrahim tidak menikah sampai wafat. Yang menyedihkan, masjid Ibrahim kini dibagi 2 sisi. Satu sisi untuk umat Islam dan sisi lain untuk Yahudi.
Sepulang dari Hebron, kami diajak makan di restoran Cina. Ah, setelah sekian hari nggak nemu makanan enak, akhirnya restoran Cina di kota Bethlehem ini menjadi semacam oasis di tengah padang pasir. Tempe tahunya enak, sayurnya enak, sambelnya nendang.
***
Pada hari ke-2, karena hari Jumat, kami seharian lebih berfokus melakukan aktivitas di seputar Masjidil Aqsa untuk bersiap salat Jumat. Kami diajak mengunjungi Mimbar Nabi Zakaria, Mihrab Maryam, dan mengexplore Dome of The Rock. Sorenya, kami juga diajak mengunjungi Tembok Ratapan. Dulunya, Tembok Ratapan merupakan Tembok Bouraq, tempat Nabi Muhammad menambatkan bouraqnya sebelum peristiwa Mikraj.
***
Pada pagi terakhir di Palestina, aku sengaja berlama-lama di masjid. Kuamati tingkah polah Bapak-bapak yang membagikan teh ke para jamaah. Suatu ketika datanglah 3 orang pemuda dari Turki mengambil teh dan bertanya, “Bapak, kenapa Anda bagi-bagi teh gratis?” Sang Bapak menjawab, “Aku melakukannya karena Allah.” Masyaallah, kami yang mendengarnya terharu. Sungguh mulia akhlak Bapak tua ini.
Siang harinya, kami harus meninggalkan Palestina untuk melanjutkan perjalanan ke Yordania. Aku berharap dapat kembali lagi ke sini untuk memakmurkan masjidil aqsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?